banner 728x286

Guru Lin Matuan, Cahaya Pendidikan di Pedalaman Wina, Tolikara

banner 120x600

TOLIKARA, SUARALANI.id— Seusai penyerahan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) kepada masyarakat Distrik Wina, Kabupaten Tolikara, tim dari Dinas Sosial yang dipimpin oleh Menase Wanimbo menyaksikan pemandangan yang menggetarkan hati di pinggir lapangan terbang Wina, Selasa (28/10/2025).

Di antara kabut pagi yang perlahan menipis, tampak sebuah bangunan sederhana berukuran sekitar 6×4 meter, beratap alang-alang dan berlantai rumput kering. Awalnya disangka pondok biasa, namun seorang pemuda setempat menjelaskan bahwa bangunan itu adalah sekolah dasar. Rasa penasaran membawa tim mendekat untuk melihat langsung kondisi sekolah tersebut.

Sekitar 100 meter dari lapangan terbang, tampak bangunan kecil dengan dinding kayu seadanya dan papan tulis berukuran kecil yang menjadi saksi semangat belajar anak-anak Wina. Pemandangan itu mengundang haru. Di tengah keterbatasan, masih ada cahaya yang menyala seorang guru muda bernama Lin Matuan.

Guru Lin, begitu ia akrab disapa, mengajar di SD Negeri Wina, sekolah baru yang berdiri dua bulan lalu berkat inisiatif Dinas Pendidikan Kabupaten Tolikara. Ia berasal dari Distrik Kurima, Kabupaten Jayawijaya. Dengan penuh ketulusan, ia menerima tawaran Kepala Sekolah Yasius Enembe untuk mengajar di wilayah pedalaman itu.

“Awalnya saya tidak tahu apakah di sini sudah ada sekolah atau belum. Baru dua bulan saya mengabdi di sini. Semua murid saya kelas satu, totalnya 130 orang, dengan usia yang beragam bahkan ada yang seumur SMP dan SMA,” tutur Lin dengan mata berkaca-kaca.

Mengajar di Wina bukan perkara mudah. Bahasa menjadi tantangan utama, sebab Lin belum menguasai bahasa Lanni yang digunakan masyarakat setempat. Ia terpaksa menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan belajar-mengajar, meskipun sebagian besar siswa belum memahaminya.

“Saya sering kewalahan menerjemahkan. Tapi saya percaya Tuhan selalu bantu saya untuk tetap kuat di sini,” ucapnya dengan suara bergetar.

Guru Lin juga mengisahkan bagaimana keterbatasan fasilitas menjadi penghalang utama. Tidak ada ruang kelas layak, tidak ada meja kursi, bahkan papan tulis hanya sepotong kecil papan kayu. Namun semangat anak-anak untuk belajar tidak pernah surut.

“Kami sangat membutuhkan bangunan sekolah yang layak, seragam untuk siswa, buku pelajaran, dan perlengkapan sekolah lainnya. Kami baru memulai, tapi punya harapan besar agar sekolah ini bisa tumbuh dan berkembang dengan dukungan dari pemerintah daerah Tolikara,” ujarnya.

Kini, SD Negeri Wina menjadi simbol semangat baru pendidikan di pedalaman Papua. Di balik beratnya akses dan keterbatasan fasilitas, perjuangan guru Lin Matuan mengingatkan kita pada makna sejati ungkapan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. (Yigibalom_Nay)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *